Kamisan #4 seasson 3 : Sekali Lagi Menjadi Akhir

Bisahkah kau, sekali saja, benar-benar menjadi seperti seorang kekasih untukku?


image

Bisahkah kau, sekali saja, benar-benar menjadi seperti seorang kekasih untukku?

Ara mengembuskan nafasnya untuk kesekian kali. Satu tangannya menekan dada, seolah ingin meredam gemuruh detak jantungnya, yang seakan, bisa mengalahkan gempita suara kembang api perayaan tahun baru di luar sana.

Ia menahan desakan air mata yang akan jatuh. Hari ini ia berulang tahun. Beberapa teman terbaiknya berinisiatif merayakan hari istimewa untuknya ini alih-alih merayakan pergantian tahun. Araya mendapat banyak sekali ucapan selamat, beberapa hadiah serta ruapan doa. Ara merasa bahagia. Ia berterima kasih untuk itu. Tetapi jauh di dalam hatinya, ada harapan yang enggan ia kubur meski sudah ia tekan begitu dalam di benaknya. Sudah sejak tiga tahun belakangan ini, Ara selalu merasa ada yang kurang dari perayaan hari lahirnya tersebut.

Karenanya, setelah dua jam ia berkumpul bersama teman-temannya, Ara memilih pulang. Berniat menghabiskan sisa malam bergelung di dalam selimut. Dengan begitu ia akan punya banyak hal untuk dipikirkannya sementara matanya belum terpejam. Saat itulah, sebuah pikiran terlintas di benaknya.

Lelaki itu bernama Pati. Kekasihnya sampai beberapa bulan lalu. Pria yang selalu jadi orang pertama memberikannya ucapan selamat. Pati akan menelpon tepat pukul dua belas malam. Seolah dia memang sengaja menunggu waktu–mungkin dengan sedikit tidak sabar–untuk segera menelpon dan mengejutkannya. Meski sebenarnya Ara tak lagi terlalu merasa terkejut, sebab ia tahu, seperti tahun sebelumnya pria itu pasti akan membangunkannya lagi kali ini. Tetapi hanya sebatas itu. Pati tak memberikan hadiah atau mengajaknya pergi kencan esok hari.

Ia tidak pernah.

Pertama, Pati berada di kota yang berbeda denganya. Kedua, pria itu masih berstatus mahasiswa–tahun ke delapan–jadi dia tak memiliki pekerjaan yang memungkinkannya memiliki uang untuk membelikan Ara hadiah atau pun mengajaknya pergi kencan (Cobalah hitung harga pp tiket pesawatnya). Saat itu Ara sudah cukup merasa puas, aku tak perlu hadiah atau kencan, yang penting adalah Pati selalu ada. Tak pernah ia sangka, ia akan menggugatnya hari ini.

Mereka bertemu di Festival Seni se-Asia. Pada waktu itu, Pati adalah salah satu pengisi acara. Ia seniman. Penyanyi. Seorang teman mengenalkan Ara padanya.

Saat aku sedang menyanyi, seharusnya orang-oranglah yang terpukau padaku tetapi dari atas panggung tadi, aku begitu terpesona padamu di depan sana, katanya waktu itu. Ara tertawa, para seniman memang nomor satu dalam merayu, jawabnya pada si Seniman. Sejak malam itu, selama Pati di Jakarta, Aralah yang menemaninya berkeliling. Sampai ketika Pati memintanya menjadi kekasih karena alasan atas rasa nyaman,  ia menerima.

Semestinya Ara tahu, dalam sebuah hubungan menggunakan kenyamanan sebagai alasan adalah hal yang rapuh. Nyaman tidak sama dengan cinta. Ketika kenyamanan hilang apakah lantas cinta juga akan hilang?  Atau ketika rasa nyaman masih ada sementara cinta sudah tidak ada, apa akan bisa tetap menahan kebersamaan? Tidak. Kenyamanan saja tidak cukup.

Sebab nyatanya kenyamanan saja tak cukup menahan Pati untuk tidak pergi.

Kamu ini aneh, begitu kata teman Ara kepadanya suatu kali. Ara mengerutkan dahinya, tak mengerti. Kenapa baru sekarang kamu uring-uringan, merasa cemburu ketika Pati dekat dengan banyak perempuan, kenapa tidak ketika kamu masih berstatus kekasihnya. Mendengar itu, Aralah yang ganti tertawa. Temannya, mengerutkan kening lebih dalam dari Ara tadi.

Kenapa harus cemas? Bagaimanapun, pada akhirnya Pati akan kembali padanya. Bukankah ia yang sudah Pati pilih untuk bersamanya. Begitu Ara menjawab. Tercipta hening yang panjang antara ia dan temannya. Mungkin mereka sama-sama yakin tak ada yang menjamin perkataan Ara tadi.

Suara Breaking Benjamin menyanyikan Diary of Jane membawa kembali pikiran Ara yang sempat berkelana. Tangannya sedikit gemetar ketika menjulur ke samping ke meja tempat ponselnya itu berada. Itu pasti dia. Ara melirik jam meja sekilas, sebelum mengangkat panggilan masuk tersebut. Pukul 00:29.

Ara merasakan sensasi seperti mabuk ketika mendengar suara Pati menembus masuk telinganya. Mantan kekasihnya itu mengucapkan selamat ulang tahun untuknya, lalu–setelah jeda sebentar–bertanya apa maksud pesan yang ia kirimkan tadi. Alih-alih menjawab yang keluar dari bibir Ara adalah kau terlambat. Bunyi statis kekosongan mengisi udara. Lalu Ara mendengar suara berat desah nafas Pati.

Kenapa kamu seperti ini?, katanya. Kita bukan lagi sepasang kekasih, prioritasku tentu saja berubah. Bukankah kita setuju untuk tidak membahas masa lalu lagi? Tidurlah, ini sudah dini hari. Jangan membuat dirimu sendiri terus mengonsumsi obat penambah darah karena kurang tidur. Aku harus menyelesaikan sebuah lagu. Kututup ya.

Sudut-sudut mata Ara meremang. Panggilan masuk tadi hanya menyisakan suara tut-tut tak berkesudahan. Ponsel itu jatuh terlepas dari tangannya, hempas ke atas tempat tidur. Pukul 00:34. Suara kembang api hanya tinggal letupan-letupan lemah di luar, tak semeriah ketika tepat tengah malam.

12:19 120315

Penulis: Empat Sayap

Perempuan | Hijau | Buku | Capung

Tinggalkan komentar