[Nulis Kamisan S04E03] Si Hitam Manis

Jika lelaki tidak paham arti senyuman wanita padanya, ia sungguh dalam masalah.


Jika lelaki tidak paham arti senyuman wanita padanya, ia sungguh dalam masalah.

Satu-satu persatu stasiun terlewati. Kami duduk berhadapan sejak di stasiun pertama. Mulanya, hanya saling curi-curi pandang. Lalu aku memandanganya dengan sedikit terang-terangan. Aku bahkan tersenyum kepadanya sekarang. Dua kali.

Pria itu, pria bodoh yang duduk di depanku. Memakai hodie berwarna hitam. Menggunakan headset di telinga sama sepertiku. Aku mengamatinya lamat-lamat. Dari atas, ke tas abu-abu dipangkuannya. Ke celana jin belelnya. Serta, ke sepatunya yang juga abu-abu. Biasa saja.

Rasanya ada yang berbeda. Tapi apa?

Caranya tersenyum dan memperlihatkan gigi-gigi depannya? Kerut di wajahnya ketika tersenyum? Apa namanya? Lesung pipi? Bukankah pria biasa lainnya juga berpenampilan seperti itu?

Ah, satu lagi stasiun terlewati. Aku akan turun di stasiun berikutnya. Haruskah aku memberinya sedikit keberanian lagi? Aku tersenyum lagi. Bukan untuknya. Aku tersenyum karena situasi ini. Oh, aku penasaran. Pria seperti apa lagi yang akan kutemui setelah dari sini.

Aku memiliki janji temu dengan sekelompok temanku di sebuah cafe. Ada banyak tipe pria yang datang ke cafe dan hanya ada sedikit pria yang yang datang ke sebuah cafe seorang diri. Penyendiri. Misterius. Dingin. Pria biasa.

Ketika suara pemberitahuan kereta berdenting, aku langsung berdiri. Sampai jumpa, Pria Bodoh, kataku dalam hati sambil melirik sekilas padanya. Aku berdiri di depan pintu, bersiap untuk turun. Langkahku ringan. Perasaanku riang. Lihat, siapa tadi yang berkata ia membenci dunia? Terkadang dunia tidak seburuk itu. Kau hanya harus tahu dengan apa kau harus bermain. Atau berpura-pura menjadi seseorang yang lain.

Aku berhenti sebentar untuk memperhitungkan arah. Haruskah aku keluar dari pintu sebelah kiri? Atau haruskah aku menyebrangi peron ke jalan sebelah kanan? Aku memang suka bermain-main seperti ini, membiarkan seseorang atau sesuatu menentukan arahku alih-alih memilih dengan cepat untuk kepraktisan.

Ketika kebingungan sesaat itulah seseorang menepuk bahuku.

Aku menoleh, dan pria bodoh di kereta tadi berdiri tepat di hadapanku. Aku menahan diri untuk tersenyum, “ya?,” kataku.

Dia salah tingkah.

“Ya?,” kataku lagi, mencoba membantunya.

“Di luar sedang gerimis, mau makan sesuatu yang hangat denganku lebih dulu?”

Wahhh kapan dia menyiapkan semua kata-kata itu? Aku melihat jam tanganku. Pukul tujuh tiga puluh. Aku masih punya waktu setengah jam.

“Oke.”

Kami berjalan beriringan ke luar stasiun. Ia memilih pintu kiri. Benar saja, di luar turun gerimis. Aku tersenyum lagi. Ah, kenapa hari ini aku terlalu banyak tersenyum? Tapi betapa tidak, melihat tetesan air di bawah cahaya lampu rasanya begitu indah. Benar kan?

“Lewat sini,”

Pria itu berlari kecil sambil menutupi kepalanya dengan tangan, aku melakukan hal yang sama. Ketika aku sampai di tempatnya ia membuka jaket lalu menutupi kepalaku. Tidak jauh dari stasiun, kami lalu masuk ke dalam kedai berukuran empat kali empat meter. Oke, kita sebut saja ini warteg.

“Pak, rawonnya dua ya.”

Ia memesan, lalu mengajakku duduk di bangku kedua baris paling kiri dari pintu masuk. Kami duduk berhadapan. Di bangku-bangku lain, hanya ada satu pria paruh baya yang begitu lahap menyantap makanan di depannya. Juga ada dua perempuan muda di bangku lainnya, seperti kami, mereka pasti sedang menunggu pesanan datang sambil mengeluhkan cuaca yang tiba-tiba berubah ini.

Si Pria Bodoh mengentuk pelan meja dua kali. Aku berpaling, penuh, menghadap padanya.

“Apa kau selalu seperti ini sebelumnya?”

“Apa?”

“Mengajak makan perempuan yang baru pertama kali kau temui?”

“Ah!” Dia tersenyum. Sialan. Kurasa karena itulah aku terpikat. Kerut di sudut matanya itu. “Tidakkah itu juga berlaku buatmu?”

Aku tertawa kali ini. “Kau sering ke sini sebelumnya?”

Ia mengangguk, “Sejak kecil. Dengan mendiang ibuku.” Ia diam selama beberapa detik, lalu katanya, “Wajahmu mirip ibuku, itu sebabnya aku begitu saja tiba-tiba mengajakmu.”

Aku hanya mengucapkan ah pelan sebagai tanggapan. Ia melanjutkan, “ketika keluar dari kereta, aku melihat gerimis turun. Di waktu seperti inilah, aku dan ibuku biasanya datang ke warung rawon ini. Kau tahu? Karena rawon berkuah seperti sup serta kaya akan rempah, cocok sekali untuk makan ketika cuaca dingin.”

Aku mengangguk. Sejujurnya, aku belum pernah tahu, bahkan mencoba seperti apa rasanya rawon itu.

Pesanan kami datang. Dua porsi rawon dengan dua porsi nasi. Kuah rawon itu berwarna hitam. Perasaanku tidak enak dengan ini. Jangan-jangan rasanya seperti tauco. Aku tidak suka tauco.

Di dalam piring juga ada tauge, empal goreng, dan kerupuk udang. Di piring yang lain, satu porsi nasi putih dengan taburan bawang goreng. Di wadah kecil lainnya ada sambal terasi. Asap mengepul dari piring-piring dihadapan kami.

“Cobalah,” ia menyodorkan piring nasi dan rawon ke hadapanku.

Aku menerima sendok dan garpu yang ia sodorkan kepadaku dengan ragu-ragu. Menyendok sedikit kuahnya yang berwarna hitam pekat itu, “manis,” kataku. “Aku sama sekali tidak menduga rasanya manis.”

“Yah, dulu ibuku sering menyebut Si Hitam Manis saat mengajakku ketika ia ingin makan rawon. Ah, yah, tunggu sebentar.” Dengan cekatan ia membelah telur dan memberikan separuhnya padaku. “Makan pakai telur asin rasanya jadi seimbang,” katanya.

Kami makan dengan lahap. Tapi tentu saja ia lebih lahap daripada aku. Tidak kusangka akan begini ceritanya. Aku merasa seolah kami terikat karena ia menceritakan kisahnya padaku dengan ringan. Aku tidak akan berpura-pura kalau ini semacam takdir yang sedang berjalan.

Ini hanya kebetulan. Kebetulan aku sedang berada di kereta itu. Kebetulan aku memiliki janji di sekitar sini. Kebetulan kalau wajahku mirip ibunya.

Ah! Apa kali ini aku yang ada dalam masalah?