Kamisan #3 Seasson 3 : Usaha Menyatakan Cinta


*cerpen ini tidak untuk mempromosikan produk apa pun.

image

Nuna sudah menunggu selama empat belas hari untuk menyiapkan dirinya. Setelah ini, ia tidak akan diam-diam lagi memandang Satria–tetangganya itu–ketika berangkat atau pulang dari beraktivitas. Berlari-lari dari ruang tamu rumahnya menuju lantai atas, di mana jendela kamarnya persis mengarah ke jendela kamar Satria. Nuna akan memadamkan lampu, lalu duduk di tepi jendela, mengangumi pria itu dari jauh. Nuna tahu, Satria pasti sadar sebab lampu kamarnya yang selalu tiba-tiba mati ketika pria itu ada di rumah. Nuna nyaris bisa membayangkan dahi pria mengernyit, heran.

Nuna bersenandung. Kakinya bersijingkat, seolah sedang menari. Senyumnya merekah seiring Ia menuruni tangga. Ia terus begitu sampai menuju dapur. Nuna menahan nafasnya, di depannya sebuah lemari es berwarna abu-abu berpintu satu, terbuka. Gadis itu kembali bersenandung, sembari mengeluarkan cake yang sudah ia siapkan sejak sore tadi. Hati-hati ia mengeluarkan kue berwarna merah itu dari loyang ke atas sebuah nampan. Memotongnya menjadi dua bagian, memisahkannya. Nuna mengambil krim semprot, mengguncangnya sebentar lalu mulai menutupi permukaan salah satu kue dengan krim.

Ia masih terus bersenandung.

Setelah selesai, dengan cekatan Nuna menumpuk kembali satu belahan kue tanpa krim ke atas kue berkrim, hingga krim manis yang lembut itu tersembunyi di tengah-tengah. Nuna beranjak ke rak dapurnya, mengambil nampan berwarna perak berbentuk bulat dengan hiasan-hiasan di seluruh sisinya, membuat nampan itu terlihat persis seperti kaca ajaib dalam dongeng-dongeng tua.

Berhati-hati, Nuna memotong kue-kue merahnya menjadi bbentuk persegi panjang, lalu menyusunnya di atas nampan. Tak lupa, ia juga menaruh madu dalam wadah kaca sebagai tambahan. Terakhir, ia mengambil bunga krisan, melepaskan kelopak-kelopak kuningnya lalu menaburkannya ke atas kue.

Ketika ingin mengangumi hasil pekerjaannya, ujung nampan mengores pergelangan tangannya yang terluka. Nuna meringis. Darah merembas, membuat kapas yang tadinya putih berubah warna. Nuna meletakan nampan kembali lalu meninggalkan dapur menuju tangga, tempat di mana kotak p3k berada.

Nuna duduk di anak tangga ke tiga. Perlahan ia membuka perban yang menutupi lukanya. Garis memanjang berwarna merah dengan luka yang cukup dalam terlihat saat ia menarik lepas kapas di atasnya. Tenanglah, katanya pada diri sendiri. Luka ini tak ada apa-apanya. Bukankah perlu pengorbanan besar untuk mendapat hal yang besar? Nuna menganguk untuk dirinya sendiri.

Ya, Satria lebih berharga tinimbang luka di pergelangan tangannya ini. Semoga saja mitos itu benar. Darah dan beberapa mantra bisa menjadikan Satria miliknya. Selamanya.

Perindu dan Pecemburu Paruh Waktu


#30harimenulissuratcinta

Abang,

Begitulah selalu pesanku ketika memulai percakapan denganmu. Aku selalu menggunakan tanda koma setelah memanggilmu. Pernahkah abang bertanya kenapa? Tanda koma itu sebagai tanda bahwa aku merindukanmu, aku ingin bicara denganmu meski tak tahu apa yang ingin aku bicarakan. Singkatnya, aku hanya ingin mendengar suaramu.

Suaramu? Lucu ya? Bangaimana percakapan lewat tulisan bisa merupa suara. Tapi ya, begitulah, aku serasa bisa mendengar suaramu secara langsung. Bukan hal yang ajaib bukan? Toh aku memang selalu mendengar suaramu dalam rekaman lagu maupun pembacaan puisi kita.

Ini 14 Februari, Abang, yang sampai hari ini aku tidak tahu kenapa orang-orang meributkannya sebagai hari kasih sayang. Yang aku tahu, 14 Februari banyak menyimpan sejarah tragedi. Sebuah hari yang banyak menumpahkan darah.

Tetapi merayakannya dengan menulis sebuah surat adalah hal yang berbeda. Dan aku menuliskannya untukmu.

Abang, aku cemburu. Aku setengah mati penasaran dari siapa kau menerima buku-buku itu. Aku menebak satu nama tetapi tak ingin memperkeruh keadaan di antara kita dengan menkonfirmasinya. Aku dan dia sudah lama tak saling bicara. Dia bilang, dia menguninstall aplikasi bbm-nya. Aku pun tak berani bertanya padamu. Kau menyukainya, aku tahu. Dan kalian berdua tahu aku menyukaimu. Ini membuat perasaanku tidak enak.

Sebenarnya, aku sudah tahu kau sudah meminta padanya, tetapi dia menolakmu. Saat aku tahu soal itu, aku   tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Aku terguncang antara tidak tahu harus bersedih atau bersyukur. Meski aku menyukaimu, aku juga berharap kau bersama seseorang. Bukankah sering kukatakan untuk membiarkan seseorang masuk ke hatimu?

Aku senang kau melakukannya, meski itu bukan aku. Entah bagaimana, tetapi, aku pasti bisa mengatasi hatiku sendiri. Saat ini, kuminta kau bersabarlah menghadapi aku. Kita terpisah jarak begitu jauh. Meski terjangkau namun tak bisa kita lipat. Cukuplah itu menjadi alasan.

Hari ini izinkanlah aku mengatakannya sekali lagi; aku menyukaimu

dari teman duet membaca puisimu,

Aria.

Kamisan #2 seasson 3 : Suatu Hari Ketika Badai


image

IBUKU adalah perempuan yang tidak memiliki masalah dengan menunggu. Ketika sebagian perempuan begitu gelisah dalam duduknya ketika menanti kedatangan seseorang, khawatir, bahkan mungkin marah, maka ibuku dengan ketenangan seperti air danau sedia menunggu berapa pun lamanya.

Hari ini, ia telah menunggu selama separuh usiaku.

Sementara aku sudah tahu sejak lama bahwa lelaki yang kupanggil ayah itu tak akan pernah kembali. Kami tidak pernah tahu di mana ia berada. Laut begitu luas untuk mencari keberadaan lelaki jangkung, bermata cokelat, dengan luka parut tipis di wajah akibat tergaruk mata pancing. Ibuku selalu meledek ayah karna itu. Katanya, ayah seorang jago di laut tetapi kalah oleh ikan-ikan sungai. Ayahku, lelaki itu, bernama Dwipa.

Ayah adalah lelaki dari tanah seberang. Perantau tak berayah-ibu. Ia mencari hidup sebagai upah harian di kapal nelayan. Ketika ayah memulai perjalanannya, ia bahkan belum memiliki jakun. Ayah tumbuh dalam dekapan ombak dan sinar matahari di atas kapal. Saat kapal yang ditumpangi ayah berlabuh di desa kami, ia memenuhi takdirnya.

Perempuan yang membuatnya jatuh cinta bernama Mirah. Bibir dan pipinya bersemu merah, seperti namanya. Seperti banyak perempuan lain di desa, Mirah ikut berdesak-desak ke kapal manapun yang baru saja mendarat. Menimbang ikan lalu memburuh ke pasar. Saat itulah, ketika Dwipa melihat ke dalam manik mata Mirah, lelaki itu merasa ia kembali memiliki rumah.

Sebulan setelah pertemuan itu, ibuku Mirah menikah dengan lelaki perantau Dwipa.

Jika kalian bertanya apakah ayah-ibuku bahagia maka aku bisa menjawabnya untuk kalian. Ayah-ibuku bahagia. Ayah membangun sendiri rumah untuk kami. Ia menebang sendiri pohon-pohon kelapa dan memancangnya sebagai tiang rumah. Memaku papan-papan dengan rekat menjadi dinding. Di usiaku yang ke enam Ayah membuat kotak berisi pasir yang ia taruh di halaman rumah. Isinya adalah cangkang-cangkang kerang beraneka bentuk dan rupa. Ayah menghadiakan kotak itu kepadaku. Aku menyanyagi kotak kerang itu seperti aku menyanyangi ayah.

Kotak kerang itu masih ada. Aku menyimpannya di dalam kamarku sebab tak ingin kotak itu lapuk terkena hujan. Aku sudah kehilangan ayah, aku tidak ingin jika harus kehilangan kotak itu juga. Tetapi ibuku sepertinya tak sedikit pun merasa kehilangan ayah.

Lihatlah dia, duduk beralas pasir di tepian pantai. Bertopi caping dengan baju kantun tipis bermotif kembang biru. Di depannya sebuah tiang tertancap di pasir. Ujung tiang itu berbentuk segitiga terbalik tempat ia menggantung saringan-saringan kecil penangkap ikan. Bagimu, mungkin ibuku terlihat konyol. Itu mungkin karena kalian tidak tahu mitos yang hidup di desa kami.

Masyarakat desa kami hidup dari laut. Rumah dan lautan berdampingan sejak zaman nenek moyang. Entah siapa yang memulai, ketika badai menghantam desa dua malam berturut. Ketika setiap doa larung turun ke laut dari para istri yang mengharap suami mereka pulang dengan selamat, esok paginya, tiang-tiang dengan segitiga terbalik terpancang di sepanjang bibir pantai. Saringan-saringan kecil berwarna-warni terayun dimainkan angin. Pemandangan itu terasa magi. Setiap mata terkesiap lalu keharuan yang pekat mengantungi setiap mata ketika melihat kapal-kapal kembali berlabuh ketepian. Suami-suami mereka pulang. Ayah-ayah kami pulang.

Seperti itulah sebuah mitos berlanjut turun temurun. Mitos yang patah ditangan ibuku.

Ayah telah menjemput takdirnya yang lain. Sebagai pelaut, ia mati di laut. Sementara ibuku, memenuhi takdirnya sebagai perempuan yang tabah dalam menunggu.

10:31
110215

Ket:
Dwipa adalah nama seorang kenalan jauh di Denpasar sana dan Mirah adalah istrinya. Mereka baru menikah beberapa waktu lalu. Meski cerita ini tidak happy end, karna saya menggunakan nama mereka, jadi cerita ini saya berikan untuk keduanya.

Selamat pakde!

Kesempatan Terkubur, Mimpi Tertunda


#30harimenulissuratcinta

Bung Dedik Priyanto.

Entahlah, apakah meminta maaf membantu?

Pastilah sudah setahun berlalu sejak kau menawariku membuat sebuah novel dan menyakinkanku agar novel itu nantinya bisa terbit di tempat kau bekerja sebagai editor saat ini. Kau pasti kecewa. Aku juga. Draft novel yang kita bicarakan itu terhenti di bab ke-7 dan teronggok sama seperti terakhir kali aku melihatnya, entah beberapa waktu yang telah lalu.

Kabarnya kau adalah editor yang galak sekaligus juga baik. Kau mengarahkan penulis-penulismu, membantu mereka menemukan solusi-solusi. Kau bukan tidak pernah menawarkan itu padaku. Kau pernah. Dan aku melewatkan saja deadline yang kau tetapkan. Itu mungkin membuatmu merasa masa bodoh sekarang. Tetapi percayalah, sesungguhnya aku takut. Topik yang kutulis, aku takut mengungkapkannya. Aku tidak tahu mengapa. Tetapi cukuplah aku tahu, bahwa benarlah, menulis adalah pekerjaan yang membutuhkan keberanian. Kata Pram, kalau tidak salah.

Bung, ah, sebenarnya aku kan memanggilmu abang. Bang Dedik, kalau suatu hari aku menyelesaikan naskahku, maukah kau membacanya? Ya, baca sajalah dan berikan tanggapanmu. Sekarang ini aku tidak terlalu bernafsu untuk mencetak namaku di sebuah buku lalu menandatanganinya. Aku masih perlu banyak belajar. Kau tidak perlu khawatir, aku masih menulis, cerita-cerita pendek yang tidak begitu memerlukan energi yang luar biasa. Tetapi aku masih menulis, itu yang terpenting. Kau tahu alamat blogku kalau kau ingin mampir.

Bang Dedik yang baik, jangan marah padaku, tetapi kecewalah. Hanya kecewa. Hingga kau bisa memberiku kesempatan lagi nanti ketika aku sudah siap. Kau tahu, berkenalan denganmu adalah serendipty. Maka benarlah,  bahwa seseorang adalah perpanjangan tangan tuhan. Aku akan mengerahkan keberanianku untuk menengok lagi naskah itu. Berkati aku.

Kau sibuk. Jaga-jagalah kesehatanmu.

Salam,

Aria.

Dear, G


#30harimenulissuratcinta

Teman kecilku, Gery.

Hai, apa kabarmu?
Mungkinkah kita masih bertetangga? Maksudku, apa rumahmu masih di sebelah rumah nenekku? Bertahun kita tak pernah lagi bertemu, sejak terakhir kepulanganaku ke kampung halaman. Kita tak pernah berkabar. Tak pernah pula masing-masing berusaha mencari tahu.

Kita menjadi asing, seperti kau yang selalu asing sejak dulu.

Aku tidak yakin apakah selama setahun aku tinggal bersama nenekku kita pernah berteman atau tidak. Kita pernah bicara atau tidak. Kau anak yang penurut dari ibu yang sangat disiplin. Pagi-pagi kau pergi sekolah bersama adikmu, Gita. Sepulang sekolah kau mengerjakan pe-er dan tidur siang. Sementara aku, anak perempuan yang seperti lelaki. Yang selalu diam-diam kabur dari jam tidur siang untuk bertualang, mencari rumpun markisa liar dan piring-piringan sebagai tawanan dalam kotak korek api.

Kau teramat pendiam. Aku teramat tak bisa diam.

Kita hanya bertemu ketika sore. Itu karena semua anak seusia kita berkumpul di jalan sempit di depan rumah-rumah kita. Ibumu mungkin tak tega terus menahanmu, maka ia biarkan kau bermain bersama kami. Tapi kau terlanjur menjadi pendiam. Tak seperti anak-anak lain, aku menjadi segan untuk menyapamu, sebagai gantinya aku hanya menyapa adikmu.

Kita hanya diam-diam saling memandang.

Aku ingat, karna rasa segan itu, aku kadang menolak ketika diminta nenekku untuk memanen terong susu di kebun samping rumah. Kebun yang berbatasan dengan rumahmu. Rumah kita yang tak berpagar memberikan akses penglihatan tembus pandang. Aku merasa kikuk karna tahu, saat aku sedang di kebun kau pun ada di sana, di tepi jendela kamarmu, mengerjakan entah apa.

Lagi-lagi kita hanya saling memandang dalam diam ketika mata kita bersirobok.

Gery, bagaimana rupamu sekarang? Kutebak alismu yang hitam dan tebal itu sudah tentulah menjadi magnet tersendiri. Aku tidak tahu kenapa, ketika dewasa seperti sekarang ini, aku sangat menyukai alis. Aku selalu berpendapat bahwa laki-laki dengan alis yang tebal itu menggemaskan. Ah, aku tahu, mungkin itu gara-gara kamu. Gara-gara alismu yang kulihat ketika kecil. Hahahaha.

Kau ingat aku Gery? Mungkin tidak. Aku tumbuh menjadi gadis yang biasa saja. Rata-rata. Kau mungkin tak akan menyangka, aku yang dulu kecil. Paling kecil di antara kalian, sekarang menjadi gemuk ketika dewasa. Ini menyebalkan sieh, mengingat aku dulu kecil sekali, dan rasanya susah sekali untuk menurunkan berat badan sekarang. Tapi ya sudahlah. Ini toh tetap aku, yang kenang-kenangannya masih kusimpan dengan teguh.

Gery, menurutmu masihkah garis hidup kita bersilangan? Masih adakah kamu, kelak, ketika aku memutuskan akan pulang? Berdiri dengan malu-malu, digoda teman-teman kita yang lain, seperti kepulanganku yang terakhir?

Temanmu,

Aria.

Hai, bli…


#30harimenulissuratcinta

Putu Aditya Nugraha

Hai, bli
Ini hari keempat, dan aku begitu saja terpikir untuk mengirimimu sebuah surat, yang mungkin isinya penuh ke-sok-tahuan.

Kenapa aku memperhatikanmu?
Jawabannya karena segala hal yang berbau Bali menarik minatku. Bukan apa-apa. Ini karena ada seorang pria di Tabanan sana yang sapanya selalu kutunggu. Gara-gara dialah, aku menyukai Bali meski kotamu itu belum pernah kudatangi sekali pun.

Aku bukan followers fanatikmu, aku memfollowmu hanya karena aku salah satu penggerak Malam Puisi di suatu kota. Tetapi baru belakangan ini aku memperhartikanmu. Memperhatikan tweet-tweet yang kautulis berupa puisi pendek.

Kau persis Pria Tabanan-ku dulu, sewaktu pertama kali aku mengenalnya dan ini membuatku berpikir, apa pria-pria di Bali selalu punya masalah dengan hati. Tinggal di tempat yang indah tetapi hati penuh duka.

Atau, kaumemang tipe penyair yang merawat luka agar bisa terus berkarya? Aku membaca Hujan, Genangan Kenangan-mu dan merasa terenyuh. Kautahu? Bahkan dadaku ikut terasa sesak. Benarkah itu juga yang kaurasakan ketika menulisnya? Atau aku hanya berlebihan dalam merasa. Tak tahulah, bli.

Pada waktu yang telah lalu, aku juga membaca Infeksi-mu, rekamannya ada di soundcloudku. Mungkin kau tidak mendengarnya, meski aku sudah memberitahumu. Tak masalah, karna sesungguhnya, rekaman itu aku tujukan untuk seorang pria masa lalu, seorang pria yang membuatku jadi pandir kalau boleh meminjam istilahmu. Ditulisan itu, perasaanku terhadap pria itu sama persis dengan yang kautulis.

Itu lima bulan yang lalu, bli.
Dan aku tidak lagi membiarkan infeksi menjalar-menjalar lebih luas dan memakan tubuhku. Perasaanku. Aku tak lagi menjadi penuh dendam meski kehilangan dan kesedihan masih memilikiku.

Bagaimana denganmu? Tak inginkah kau mengamputasi infeksi-infeksi itu? Atau sebenarnya kau tak seterluka itu. Seperti yang kukatakan di awal, aku mungkin hanya sok tahu. Terlepas dari semua itu, aku menikmati puisi-puisimu.

Salam.