*cerpen ini tidak untuk mempromosikan produk apa pun.
∞
Nuna sudah menunggu selama empat belas hari untuk menyiapkan dirinya. Setelah ini, ia tidak akan diam-diam lagi memandang Satria–tetangganya itu–ketika berangkat atau pulang dari beraktivitas. Berlari-lari dari ruang tamu rumahnya menuju lantai atas, di mana jendela kamarnya persis mengarah ke jendela kamar Satria. Nuna akan memadamkan lampu, lalu duduk di tepi jendela, mengangumi pria itu dari jauh. Nuna tahu, Satria pasti sadar sebab lampu kamarnya yang selalu tiba-tiba mati ketika pria itu ada di rumah. Nuna nyaris bisa membayangkan dahi pria mengernyit, heran.
Nuna bersenandung. Kakinya bersijingkat, seolah sedang menari. Senyumnya merekah seiring Ia menuruni tangga. Ia terus begitu sampai menuju dapur. Nuna menahan nafasnya, di depannya sebuah lemari es berwarna abu-abu berpintu satu, terbuka. Gadis itu kembali bersenandung, sembari mengeluarkan cake yang sudah ia siapkan sejak sore tadi. Hati-hati ia mengeluarkan kue berwarna merah itu dari loyang ke atas sebuah nampan. Memotongnya menjadi dua bagian, memisahkannya. Nuna mengambil krim semprot, mengguncangnya sebentar lalu mulai menutupi permukaan salah satu kue dengan krim.
Ia masih terus bersenandung.
Setelah selesai, dengan cekatan Nuna menumpuk kembali satu belahan kue tanpa krim ke atas kue berkrim, hingga krim manis yang lembut itu tersembunyi di tengah-tengah. Nuna beranjak ke rak dapurnya, mengambil nampan berwarna perak berbentuk bulat dengan hiasan-hiasan di seluruh sisinya, membuat nampan itu terlihat persis seperti kaca ajaib dalam dongeng-dongeng tua.
Berhati-hati, Nuna memotong kue-kue merahnya menjadi bbentuk persegi panjang, lalu menyusunnya di atas nampan. Tak lupa, ia juga menaruh madu dalam wadah kaca sebagai tambahan. Terakhir, ia mengambil bunga krisan, melepaskan kelopak-kelopak kuningnya lalu menaburkannya ke atas kue.
Ketika ingin mengangumi hasil pekerjaannya, ujung nampan mengores pergelangan tangannya yang terluka. Nuna meringis. Darah merembas, membuat kapas yang tadinya putih berubah warna. Nuna meletakan nampan kembali lalu meninggalkan dapur menuju tangga, tempat di mana kotak p3k berada.
Nuna duduk di anak tangga ke tiga. Perlahan ia membuka perban yang menutupi lukanya. Garis memanjang berwarna merah dengan luka yang cukup dalam terlihat saat ia menarik lepas kapas di atasnya. Tenanglah, katanya pada diri sendiri. Luka ini tak ada apa-apanya. Bukankah perlu pengorbanan besar untuk mendapat hal yang besar? Nuna menganguk untuk dirinya sendiri.
Ya, Satria lebih berharga tinimbang luka di pergelangan tangannya ini. Semoga saja mitos itu benar. Darah dan beberapa mantra bisa menjadikan Satria miliknya. Selamanya.
∞