Kamisan #3 Telur Dadar : Telur Dadar Terenak di Dunia

Jika kaubisa melihatku sekarang, Rayi, berilah aku tanda agar kita bisa lagi bertukar cerita, bersama senja, di sisi jembatan, suara bendungan, yang kausebut indah. Kaubenar, Rayi. Senja di sini indah.


image

Jika kaubisa melihatku sekarang, Rayi, berilah aku tanda agar kita bisa lagi bertukar cerita, bersama senja, di sisi jembatan, suara bendungan, yang kausebut indah. Kaubenar, Rayi. Senja di sini indah.

{}

“Bu, kita ke bendungan lagi?” Rayi menoleh pada ibunya. Sebetulnya ia tidak perlu bertanya, Rayi sudah hapal betul, hampir setiap petang, ibunya akan mengajaknya berkeliling naik becak menuju jembatan.

Ya, hampir setiap petang.

Seolah tanpa mendatangi jembatan ini siklus hidup ibunya tidak lengkap. Padahal tak ada hal khusus yang ia kerjakan. Hanya duduk di salah satu bangku besi yang berderet dalam jarak tertentu di sisi sungai, lalu membaca.

Namun tak jarang, aku memerhatikan ibu sedang berbicara sendiri.

Tidak juga, ibu seperti orang yang sedang bercerita. Aku beberapa kali takjub melihatnya. Ibu tidak terlihat seperti orang tidak waras. Ia terus bercerita seolah ada yang mendengarkannya. Aku duduk di sebelahnya, tapi ibu jelas tak bercerita untukku meski ia sering menyebut namaku.

Entahlah

Suatu kali, ibu menceritakan bagaimana ia bertemu, Adri, ayahku, di tempatnya bekerja.

Ayahku salah seorang pustakawan di Perpustakaan Umum Daerah kota Tangerang, yang sering ibu kunjungi. Hari itu hujan ruah begitu deras, karna tak membawa payung dan jalan di depan perpustakaan ini bukan jalan umum sehingga siapapun pengunjungnya mesti berjalan cukup jauh untuk menemukan angkutan maka ibu memutuskan menunggu, di selasar depan gedung. Saat itulah, ayahku datang, turun dari lantai dua gedung perpustakaan yang sudah ia kunci.

Sebuah payung menyatukan masa depan mereka

Pada senja yang lain, ibu menceritakan soal aku.

Aku memberikan namamu padanya, Ray, begitu ibu membuka ceritanya.

Lalu ia akan menceritakan kebahagiannya ketika aku lahir, ketika aku belajar berjalan, ketika gigi pertamaku tumbuh, ketika aku bisa mengucap satu kata; Ray, ketika ia mengantarku untuk sekolah.

Semua saat-saat pertamaku ia ceritakan, entah pada siapa.

Aku melihat ibu tersenyum. Aku penasaran, kira-kira apalagi yang akan ibu ceritakan.

“Kemarin, aku mencoba resep telur dadarmu, Ray. Kautahu? Rayi suka sekali. Dia sekarang bisa makan sayuran.”

{}

Alea memerhatikan Rayi dari meja makan, di depannya Rayi sibuk memotong-motong sayuran. Alea sangat lapar, ia hanya perlu memasukan makanan ke dalam mulutnya jadi sebenarnya Rayi tak perlu memaksa membuatkannya makanan, apalagi Alea dibuat menunggu selama ini.

“Dueh! Sebenarnya kaumasak apa sieh? Aku nggak bisa nunggu lebih lama, Ray. Aku lapar!” Alea kesal.

“Sabar saja, Nona. Aku sedang membuatkan makanan paling enak di dunia, kautahu? Jadi jangan berisik!” ucap Rayi, ia menoleh sebentar pada Alea lalu kembali sibuk dengan urusannya.

Rayi mulai memanaskan fry pan, membaluri wajah wajan seukuran dasar piring itu dengan mentega. Alea menyipitkan mata. Apa sieh yang orang ini buat? Ia tadi melihat Rayi mengambil dua butir telur, kubis, tomat, wortel, bawang bombay, cabai, daun bawang, dan entah apa lagi. Awas saja kalau tidak enak, gerutunya.

Wangi lezat makanan tercium di udara ketika Rayi menumpahkan bahan makanan yang ia buat tadi ke dalam fry pan, jelas-jelas mengejek perutnya yang kelaparan.

Alea tak sabar namun ketika Rayi membawa makanan itu ke hadapannya, Alea melotot.
“Jadi dari tadi yang kaumasak itu telur dadar?” Alea setengah berteriak.

Sudut bibir Rayi terangkat, “Coba dulu, nanti baru protes!” katanya lalu menyerahkan garpu ke tangan Alea.

“Kaumembuatku menahan lapar begitu lama,” ujar Alea. Ia memotong telur dadar buatan Rayi dengan garpu. “Awas saja, kalau tidak enak!” Ia mengancam sebelum memasukkan sepotong telur dadar ke mulutnya.

Telur dadar itu begitu lembut dan kenyal. Manis dari kubis, pedas dari cabai, gurih dari bawang bombay dan entah apa dan bagaimana lagi, Alea bingung menjelaskannya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata.

“Enak kan?” tanya Rayi. Alea menganguk antusias dan tersenyum, mengudang muncul lesung di pipi kirinya. Satu hal yang disukai Rayi pada gadis itu. “Tentu saja,” kata Rayi. “Ini telur dadar paling enak di dunia!”

Tiba-tiba saja Rayi membawa pergi piring telur dadar itu dari hadapan Alea, “Jatahmu cuma segitu,” teriaknya

{}

“Terima kasih sudah mengajariku membuatnya, Ray.”

Alea tersadar oleh teriakan Rayi memanggil ayahnya. Tergeragap menyadari di mana ia sekarang. Ah, taman di antara jembatan dan bendungan ini memang tak lepas dari hidupnya sejak delapan tahun lalu.

Sementara petang sudah berlalu, tinggal jejaknya masih merona di kaki langit. Alea melihat Adri mengendong Rayi kecil mereka, berjalan ke arahnya.

Keluargaku, Ray, batin Alea

Delapan tahun lalu, Rayi dan Alea bertemu di sini. Disatukan oleh keinginan yang sama untuk mengakhiri hidup, diserang keputusasaan yang sangat. Tapi Tuhan berbaik hati pada Alea dengan mempertemukan Rayi kepadanya. Meski, pada akhirnya Rayi tetap harus pergi lebih dulu bersama sakit jantung yang dideritanya sejak kecil.

Alea tersenyum. Adri duduk di sisinya dan mengetuk pipi kiri Alea. “Nona Manis ini apakah mau pulang?” , ujarnya.

“Iya, Bu. Ayoh kita pulang, Bu!” rewel Rayi.

“Iya. Ayoh pulang! Nanti di rumah ibu masakkan telur dadar paling enak di dunia untuk Rayi dan ayah, ya?”

Alea bangkit, berjalan lebih dulu. Kedua lelaki di belakangnya saling mengedipkan mata lalu berlari mengejar perempuan yang paling mereka cintai di dunia.

{}

Duduk di sofa ruang tamu, Alea tak lagi merengut karna dikerjai oleh Rayi. Sepiring telur dadar itu kini miliknya. Ia memakannya dengan lahap. Rayi sampai harus berkali-kali mengingatkan agar ia jangan sampai tersedak.

“Kauharus mengajariku cara membuatnya!”

“Tentu saja!” Alea hampir tak memercayai pendengarannya. Jarang sekali Rayi akan langsung mengiyakan keinginannya. “Tapi ada syaratnya,” lanjut Rayi. Sudut bibirnya tertarik sedikit.

Ah, senyum mengejeknya itu! “Apa?” Ada cemas keluar dari mulut Alea.

“Kauharus menikah denganku dulu.”

{}

22.05
5/10/13
Aria

Ket:
Alea dan Rayi adalah tokoh yang aku dan David hidupkan dalam lomba cerpen duet Unsa.

Penulis: Empat Sayap

Perempuan | Hijau | Buku | Capung

17 tanggapan untuk “Kamisan #3 Telur Dadar : Telur Dadar Terenak di Dunia”

  1. huaahhh aku ndak nemu padanan kata selain ‘kampreett’ dan ‘anjosss’ yang lebih halus buat ngungkapin, hahahahahaha keren!! aku sampe senyum2 sendiri bacanya…

    kampreeett!! :))

  2. ada alea, ada rayi dan ada bendungan, jadi inget baca cerpen bunuh diri.. ehh ternyata berlanjut thoo…
    mbaaak ar klo ketemu (lagi) wajib bikinin aku loch yah.. 😀

Tinggalkan komentar